Minggu, 14 November 2010

Kebudayaan Aplim Apom Penghambat Pembangunan?

Suatu Pandangan
Arti kebudayaan secara sempit diartikan sebagai segala hasil cipta, rasa dan karsa dari seseorang atau sekelompok orang yang diperoleh melalui proses belajar secara turun temurun yang dimiliki bersama. Apa yang dipelajari? Segala bidang hidup dipelajari mulai dari sistem religi, perekonomian, sosial, moral, seni, budaya, kesehatan, dan sejumlah aspek hidup lainnya. Sistem pendidikan yang amat sederhana saat itu ( masyarakat primitif ) amat mengikat. Peraturan yang berlaku saat itu tidak tertulis namun jelas dan tegas sanksinya. Hal itu diikuti dan diindahkan oleh segenap masyarakat tanpa kecuali. Unsur moral amat mendominasi dalam mengatur hidup dan kehidupan mereka. Etika, moral, penghargaan hak milik dijunjung tinggi. Dahulu kala religi yang berpusat pada adat merupakan pegangan yang tepat dan amat berperan besar dalam menjalankan hidup.
Dengan konsep religi yang sederhana dimana menjaga keharmonisan hubungan dengan alam ( takluk pada kekuatan alam ?), maka perusakan lingkungan tidak pernah terjadi dalam skala yang besar. Perusakan terjadi hanya untuk pembukaan ladang ubi dan keladi. Mengapa mereka takut merusak alam secara serampangan? sebab menurut keyakinannya alam merupakan tempat bernaungnya roh halus yang melindunginya. Merusak alam berarti merusak diri dan segala sesuatu yang dimilikinya. Tempat bersemayamnya roh halus ini disebut dengan alut bali, tersebar diseluruh wilayah aplim apom. Dengan tersebarnya lokasi alut ini, maka masyarakat menjunjung tinggi dan menjaga kesakralan lokasi-lokasi tersebut. Sistem kehidupan seperti ini berlangsung hingga masuknya injil ( agama ekspor) di tanah aplim apom di lembah Sibil ( kini Oksibil). Masuknya agama telah merubah semua aspek hidup ( kearifan lokal) tahap demi tahap bahkan ada yang merubahnya secara total ( wilayah GIDI).
Sesuai dengan sifat budaya itu sendiri ( dinamis), maka kebudayaan aplim apom mengalami berbagai perubahan setelah adanya pengaruh luar terutama karena dampak hadirnya agama dan pemerintah. Kedua institusi ini masing-masing mengemban tugas dan misi yang sama meski dengan jalan,dogma dan cara berbeda. Dogma gereja mencatatkan sejarahnya sebagai misi kemanusiaan yang menghargai harkat dan martabat orang aplim apom karena diemban tanpa kekerasan. Misi positif gereja itu berbanding terbalik dengan misi yang dibawa oleh pemerintah. Pemaksaan adalah satu satunya jalan yang ditempuh oleh pemerintah dengan aparaturnya ( tentara) dengan operasi kotekanya. Semua dibawa dari hutan ke kota dan dipaksa memakai apa yang mereka berikan. Pada saat operasi koteka ini terjadi pemusnahan alat-alat budaya yang berarti juga pemusnahan jati diri dan penginjakkan harga diri orang aplim apom yang punya kekayaan budaya yang unik,khas dan kaya.
Tahun 2003 wilayah adat aplim apom dimekarkan menjadi kabupaten sendiri dengan nama kabupaten Pegunungan Bintang. Dengan demikian secara perlahan masyarakat aplim apom mulai merasakan apa itu pembangunan yang sebenarnya, hal dimana tidak pernah dirasakan sepanjang bergabung dengan kabupaten induknya Jayawijaya selama 40 an tahun. Sejak tahun 2003, kini telah 7 tahun pembangunan berjalan di Pegunungan Bintang.
Lalu apakah kebudayaan menjadi penghambat jalannya roda pembangunan di Pegunungan Bintang? Untuk menjawab pertanyaan ini lebih tepat jika saya mengorek informasi dari pimpinan SKPD dan pengusaha yang sama-sama berkecimpung dalam pembangunan. Namun menurut hemat saya pandangan pribadi saya mungkin bisa mendekati atau pun menjawab hal ini. Dibanding masa-masa sebelum pengaruh luar masuk wilayah aplim apom, kebudayaan aplim apom kini telah pada tahap perubahan besar, tidak kaku, ketat, dan tidak berbenturan secara signifikan bagi kehidupan orang aplim apom maupun orang luar. Hal ini menunjukkan bahwa kebudayaan tidak lagi menjadi pengahmbat jalannya pembangunan. fakta dilapangan menunjukkan beberapa lokasi sakral telah dimanfaatkan bagi kepentingan pemerintah. Padahal jika ditilik dari sisi adat / budaya semestinya daerah itu sakral sehingga dapat saja merusak orang aplim apom. Pemanfaatan ( pengrusakan) lokasi terus dilakukan hingga kini. Meski hal ini merupakan konsekswensi logis dari adanya kabupaten, namun kiranya tidak dilakukan secara membabi buta.
Yang lebih parah, pengrusakan lokasi-lokasi sakral dilakukan oleh orang lokal demi sesuap nasi dan atau seonggok uang yang jumlahnya tidak seberapa dibanding kerugian yang diderita bagi mereka dan generasi penerusnya itu dimasa depan. Sebagai contoh, Di kota Oksibil dan sekitarnya sumber daya alamnya ( kayu ) telah di eksploitasi tanpa reboisasi. Dengan demikian persediaan kayu telah musnah total. Orang asli dengan kelebihannya mengusir roh halus yang bersemayam dalam suatu tempat, dengan mudah merusak alam. Tidak hanya kayu tapi tanah juga telah dijual kepada pendatang oleh karena keserakahan sesaat orang tertentu dengan dalih pemilik hak ulayat tanah. Kesepakatan bersama dengan Dewan Adat Daerah Aplim Apom Sibilki tidak diindahkan. Maka bahaya besar mengancam masa depan orang aplim apom di Oksibil.

Dengan demikian penulis dapat menyimpulkan bahwa kebudayaan tidak menghambat proses pembangunan aplim apom melainkan pembangunanlah yang telah merusak tatanan hidup, adat dan kebudayaan tanah aplim apom yang agung, luhur, besar, dan bermartabat. Kebudayaan merupakan dasar hidup yang luhur,arif dan bijaksana......mari kita lestarikan budaya tanpa menghambat pembangunan di wilayah tanah aplim apom tercinta.

Atangki menyertai kita semua...yepmum..lapmum..telep..asbe..yelako..


Tidak ada komentar:

Posting Komentar